RIDMA Foundation menilai Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional adalah posisi strategis yang membutuhkan integritas dan otoritas yang kuat. BNN harus dipegang oleh pilot yang mengerti permasalahan narkoba atau punya latar belakang hal itu.
Ketua RIDMA Foundation, Budi Raharjo mengatakan, posisi Deputi Pemberantasan sangat strategis karena di bidang inilah BNN membongkar mafia dalam negeri dan luar negeri. Sang komandan Deputi Pemberantasan punya otoritas luar biasa. Dapat memanfaatkan ‘alat sadap’ untuk mendeteksi orang-orang yang dicurigai.
“Kami punya data, untuk orang-orang yang punya pengalaman khusus dalam pemberantasan narkotika, yang mendapat julukan dan pengalaman sebagai salah satu dari extra ordinary crime,” katanya di Jakarta.
Oleh sebab itu, dia heran mengapa dalam Keputusan Presiden (Keppres) 116/2020 yang dikeluarkan bulan Juli 2020 memuat tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Pejabat Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan BNN, Arman akan dilantik kembali sebagai Deputi Pemberantasan.
Sedangkan dalam Telegram Kapolri dengan nomor ST/2557/IX/KEP./2020 menyebutkan bahwa Irjen Arman Depari dimutasi dari posisi Deputi Pemberantasan di BNN dan kembali ke Polri.
Budi menjelaskan, BNN merupakan institusi yang berada di bawah Presiden langsung. Sehingga jajaran yang berada di dalamnya merupakan penugasan dari institusi lain. Dengan demikian tidak memungkinkan seorang pensiunan dapat kembali ditugaskan di BNN.
“BNN itu adalah institusi langsung di bawah presiden. Yang ditaroh di situ, tergantung institusi yang ngirim. Kalau polisi ya aturan pensiun polisi, karena institusi enggak bisa menugaskan seorang pensiunan,” tutupnya.
Sebelumnya, Direktur Indonesia Government and Parliament Watch, M. Huda Prayoga mengatakan, Deputi Pemberantasan seharusnya diisi oleh perwira aktif.
“Seorang yang sudah memasuki usia pensiun sebaiknya tidak diangkat kembali untuk menduduki posisi penting setingkat deputi pemberantasan di BNN, selayaknya posisi itu dijabat perwira aktif,” katanya, Sabtu (12/9).
Dia mengungkapkan, ada dua preseden Keppres dibatalkan terkait perwira tinggi yang diangkat kembali menduduki posisi penting di BNN.
Pertama, SBY (Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono) waktu itu mengeluarkan Keppres mengenai pengangkatan Komjenpol Oegroseno sebagai Kepala BNN, Keppres itu lalu dianulir karena menabrak Pasal 69 (f) UU No.35/2009 tentang Narkotika. Di pasal tersebut diatur batas usia Kepala BNN adalah 56 tahun. Sementara Pak Oegroseno sudah memasuki 56 tahun saat itu,” ujarnya.
“Preseden kedua terjadi di masa Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo), saat itu komisi III DPR RI mewacanakan perpanjangan masa jabatan Pak Budi Waseso sebagai Kepala BNN, namun tidak dikabulkan oleh Pak Jokowi karena Pak Buwas juga sudah memasuki usia 56 tahun saat itu,” tambah Huda.
Huda menegaskan, Keppres yang mengangkat kembali Arman Depari sebagai Deputi Pemberantasan BNN tidak lazim.
“Berpotensi menabrak UU Narkotika, apalagi telah terbit telegram Kapolri mengenai mutasi Arman Depari kembali ke kesatuan untuk persiapan pensiun. Saya rasa Pak Jokowi harus membatalkan Keppres tersebut,” tutup Huda.