Oleh: Mhd.Adicandra
Bapak saya hanya seorang petani. Tak tamat SMA, hanya hingga SMP. Ibu saya, ibu rumah tangga biasa. Tapi, untuk membantu ekonomi keluarga, ibu buka waring kecil-kecilan di depan rumah. Bagi Ibu dan Bapak, pendidikan anak-anak adalah penting. Kata Bapak, “ Biar nanti kalian hidup senang. Tak sesusah kami sekarang !”.
Kami, bertiga beradik kakak. Saya anak tertua. Sudah tamat kuliah. Kini kerja pada sebuah perushaan swasta di Semarang. Adik saya, kini juga sudah kuliah. Si bungsu, tahun ini tamat SMA. Walau Bapak hanya sampai kelas dua SMA, tapi Bapak sangat menghargai dan menghormati pilihan anaknya masing-masing.
Bapak tidak pernah memaksakan kehendak kepada kami. Bapak memang tidak tamat SMA, namun begitu Bapak saya tidak gaptek. Suka baca-baca berita di HP. Apalagi, sejak bapak saya belikan sebuah HP android. Jadi gemar Bapak membaca.
Sejak dulu, Bapak adalah pengagum Gus Dur. Makanya, ketika PKB dipimpin Gus Dur, pilihan politik Bapak adalah ke PKB. Tapi, sejak PKB tak lagi dipimpin Gus Dur, pilihan Bapak hingga kini adalah ke PDIP. Kalau ibu, dari dulu pilihan politiknya adalah “terserah”. Kalau ditanya pilihan ibu apa, jawabannya: “ Nggak ngerti politik-politik !”.
Kayaknya, ibu adalah golput. Tapi ibu pernah berkata: “ Biar adil, ibu coblos aja semua”. Kami, tertawa mendengar alasan ibu.
Adik saya yang kini kelas dua SMA, lain pula pilihannya. Ia memilih Demokrat. Alasannya sedikit aja. Ia suka pada sosok SBY. Walau SBY sudah tua, tapi tetap aja gagah dan cerdas. Adik saya yang kelas tiga SMA, lain lagi. Pilihannya dan saya sama. Yakni sama-sama simpati pada PSI, partainya anak muda.
Beberapa hari yang lalu, saya membaca berita. Kaesang bergabung ke PSI. Luar biasa, bahagia saya dan adik saya mendengar berita ini. “ Anjir….Kaesang ke PSI. Yakin saya bang, partai kita menang !” ujar adik saya bersorak girang.
Dengan demikian, Kaesang bagi saya adalah pendobrak tradisi PDIP di mana kalau ayahnya PDIP, satu keluarga harus PDIP semua. Ini yang membuat saya heran. PDIP itu akronim dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Itu kan ada kata “demokrasinya”. Kayaknya, nggak pas kalau kata demokrasi dilekatkan selagi masih ada tradisi “kalau bapaknya PDIP, anaknya juga harus PDIP”.
Di mana letak demokrasi? Coba, pikirkan!
Gaya atau tradisi PDIP beda banget dengan Bapak kami yang tak tamat SMA. Soal pilihan politik, ia serahkan kepada kami. Kata Bapak, “ Pilihan politik bukan pilihan keturunan. Bukan pilihan garis darah. Ia adalah pilihan garis hati dan pandangan. Bapak memang tiidak sekolah tinggi-tinggi, tapi bagi Bapak soal pilihan politik, bapak serahkan kepada kalian. Kalian punya sikap…!”
Keluarga kami keluarga “berdemokrasi”. Keluarga kami bukan keluarga yang terbiasa atau bertradisi, memaksa-makssakan kehendak. Saran saya, PDIP harus menjadi contoh berdemokrasi yang cerdas dan terhormat serta bermartabat. Mari kita mulai berdemokrasi dari keluarga. Sebuah partai politik sebesar PDIP mestinya menjadi penjunjung tinggi pilihan politik seseorang.
Waduh, gimana caranya tuh PDIP akan mengembangkan spirit demokrasi berbangsa dan bernegara sementara soal pilihan harus tergantung “bapak”. Menurut saya “demokrasi” seorang bapak itu tergambar pada sajak seorang Khalil Gibran tentang anak.
“Kau boleh memberi mereka cintamu, tetapi bukan pikiranmu.
Sebab, mereka memiliki pikiran sendiri.
Kau bisa memelihara tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka.
Sebab, jiwa mereka tinggal di rumah masa depan, yang takkan bisa kau datangi, bahkan dalam mimpimu.
Kau boleh berusaha menjadi seperti mereka, tetapi jangan menjadikan mereka seperti kamu.
Sebab, kehidupan tidak bergerak mundur dan tidak tinggal bersama hari kemarin”
Nah, PDIP, kita simak puisi ini baik-baik. Jadi, lenyapkanlah “tradisi” politik yang “mengharuskan” itu. Kalau bapaknya PDIP atau pengurus PDIP, maka anaknya harus PDIP pula, itu tak selaras dengan ajaran demokrasi. Itu selaras denga napa yang disebut dengan pemaksaan kehendak. Ajaran demokrasi itu, bertentangan kuat dengan pemaksaan kehendak. Ajaran demokrasi itu, menghargai pilihan dan pendapat. Demokrasi bukan soal darah, keturunan atau trah.
Demokrasi adalah “mainan” manusia cerdas berpikir. Bukan pikiran yang dikerangkeng. Untuk apa menyorakkan kata “Merdeka…merdeka” tiap ujung pdato, sementara kemerdekaan seorang anak saja, kau belenggu. Ironis…!
Kesimpulannya, jangan jual kata “demokrasi”.Untuk apa teriak “Merdeka” sementara pilihan anak kau penjarai !
Merdeka ! (*)