Telegram Kapolri dengan nomer ST/2557/IX/KEP./2020 salah satunya memuat mengenai mutasi Arman Depari dari posisi Deputi Pembarantasan di BNN kembali ke Institusi Induk, dalam hal ini Polri karena memasuki usia pensiun, langsung menuai polemik di publik.
Ini diakibatkan karena adanya Keputusan Presiden (Keppres) 116/2020 yang dikeluarkan bulan Juli 2020 yang memuat tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Pejabat Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan BNN, Arman akan dilantik kembali kembali sebagai Deputi Pemberantasan.
Direktur Indonesia Government and Parliament Watch, M. Huda Prayoga menyebut hal tersebut tidak lazim.
“Seorang yang sudah memasuki usia pensiun sebaiknya tidak diangkat kembali untuk menduduki posisi penting setingkat deputi pemberantasan di BNN, selayaknya posisi itu dijabat oleh perwira aktif,” kata Huda di Jakarta, Sabtu (12/9)
Huda mengatakan, setidaknya ada dua preseden Keppres dibatalkan terkait perwira tinggi yang diangkat kembali menduduki posisi penting di BNN.
“Pertama, SBY waktu itu mengeluarkan Keppres mengenai pengangkatan Komjenpol Oegroseno sebagai Kepala BNN, Keppres itu lalu dianulir karena menabrak Pasal 69 (f) UU No.35/2009 tentang Narkotika. Di pasal tersebut diatur batas usia Kepala BNN adalah 56 tahun. Sementara Pak Oegroseno sudah memasuki 56 tahun saat itu,” papar Huda.
“Preseden kedua terjadi di masa Pak Jokowi, saat itu komisi III DPR RI mewacanakan perpanjangan masa jabatan Pak Budi Waseso sebagai Kepala BNN, namun tidak dikabulkan oleh Pak Jokowi karena Pak Buwas juga sudah memasuki usia 56 tahun saat itu,” tambah Huda.
Huda menegaskan, Keppres yang mengangkat kembali Arman Depari sebagai Deputi Pemberantasan BNN tidak lazim.
“Berpotensi menabrak UU Narkotika, apalagi telah terbit telegram Kapolri mengenai mutasi Arman Depari kembali ke kesatuan untuk persiapan pensiun. Saya rasa Pak Jokowi harus membatalkan Keppres tersebut.” tegas Huda.