Oleh : Abdi Nurhidayat
Saya mantan atlet. Tapi prestasi saya biasa-biasa saja. Belum ada satu pun yang dapat dibanggakan. Karena saya tidak terlalu konsen meraih prestasi dalam dunia olahraga . Bagi saya dunia olahraga hanyalah dunia pengisi hobi. Bagaimana saya akan disiplin berlatih, karena pada masa-masa muda itu saya lebih fokus menjaga warung Emak.
Alhamdulillah, kini saya sudah punya ruko sendiri.Berkat “Latihan” di kedai Emak. Bukan berkat rajin-rajin berlatih silat untuk meraih prestasi. Soalnya, dulu itu saya masih belum yakin bahwa berprestasi di dunia olahraga, tingkat nasional bahkan tingkat dunia yang notabenenya mengharumkan nama bangsa, toh akan belum tentu akan menjamin hari-hari tua.
Palingan juga, habis manis sepah dibuang.
Dan kekhawatiran saya itu terbukti. Banyak atlet-atlet yang berprestasi tingkat dunia dan mengharumkan nama negara, tapi masa tuanya sungguhlah merana. Waktu masa jaya, ia dipuja-puja bak seorang raja. Begitu sudah tak berprestasi, ia dilupakan.
Ada beberapa atlet Indonesia yang dahulu nya bahkan peraih medali emas hingga kejuaraan Internasional dan membawa bangga nama Indonesia. Kini, hidup penuh cobaan.Penuh derita dengan kesulitan ekonomi.Bahkan ada yang merana karena sakit dan tidak ada biaya berobat sampai-sampai ada yang terdengar sampai menjual medali yang dulu mereka raih dengan mandi keringat berdarah-darah.
Contohnya mantan atlet lari putri Katarina Nesimnasi, asal Desa O’of, Kecamatan Kuatnana, Kabupaten TTS, Provinsi NTT. Ia dahulu pernah mengharumkan nama Indonesia di level Internasional. Kini, atlet putri itu tenggelam namanya dan tidak pernah diingat kembali. Kini Katrina hidup memilukan di masa tuanya. Ia kesulitan ekonomi. Katrina harus kerja membanting tulang. Ia tinggal di kampung halamannya dengan rumah kayu.
Ada lagi atlet sepak bola yaitu Anang Ma’ruf. Ia pernah sukses dan mengikuti program Primavera dan Baretti di Italia pada 1993 sampai dengan 1994.Dalam program Primavera saat itu, Anang berhasil mengangkat prestasi sepak bola Indonesia. Selama Anang bergabung dengan Timnas, ia pernah tercatat mempersembahkan medali perak di ASEAN Games 1997 dan medali perunggu pada ASEAN Games 1999 untuk Indonesia. Namun, kini nasib atlet itu menjadi pengendara ojek online dan kesulitan ekonomi.
Ingatkah kita pada mantan atlet pesenam nasional yaitu Amin Ikhsan kini harus hidup kesulitan. Nasib atlet Amin Ikhsan kini hidup memprihatinkan setelah rumahnya di kawasan Kiaracondong, Kelurahan Kebonwaru, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung digusur oleh Pemkot Bandung pada Agustus 2015. Amin Ikhsan mantan pesenam itu pernah berada di urutan ke-7 kejuaran Dunia tahun 2003 di Tokyo, Jepang. Kini bagaimana nasibnya untuk bertahan hidup? Sungguh memilukan. Karena ia harus menjual barang-barang rongsokan dari sisa bangunan yang telah dirobohkan.
Ada lagi Abdul Rajak. Ia mantan atlet Dayung asal Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.Rajak pernah membawa nama Indonesia di tingkat nasional hingga internasional. Namun, siapa sangka Abdul Rajak kini hidup merana dan nasibnya memilukan. Kini, mantan atlet itu menjadi nelayan untuk memenuhi kehidupan ekonominya.
Saya yakin, masih banyak di daerah-daerah atlet yang dulu mengharumkan nama daerah dan republic yang sangat kita cintai ini berada dalam garis kehidupan yang Senin-Kamis. Ia seperti dilupakan.
Saya orang yang gemar membaca.Terutama media online. Betapa saya bahagia membaca sebuah situs online ketika DPP PSI melakukan “Open House” yang dihadiri Sejumlah pahlawan bulutangkis Indonesia yang meraih medali Olimpiade hadir di “Open House DPP PSI” yang pertama. Mereka adalah Alan Budikusuma, Susi Susanti, Eddy Hartono, Candra Wijaya, dan Trikus Harjanto.
Yang membahagiakan saya sebagai mantan atlet tarkam adalah ketika PSI mengangkat dan memperbincangkan isu kesejahteraan atlet Indonesia berprestasi usai pensiun .
Bahkan saya menyimak ketika pada akhir Mei lalu, pengurus DPP PSI dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PSI, mendampingi sejumlah atlet peraih medali Olimpiade beraudiensi dengan Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono. Juara Dunia 1995 dan kini Ketua DPP PSI, Hariyanto Arbi, menjadi inisiator pertemuan ini.
Apa yang dibicarakan PSI?
Ternyata pada Pertemuan itu PSI membicarakan skema kesejahteraan jangka panjang bagi atlet Indonesia peraih medali Olimpiade, khususnya saat pensiun. Saya dengar, suara PSI lantang sekali mendorong diterbitkannya peraturan pelaksana dari UU No 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan.
“ PSI menginginkan ada Perpres yang menyatakan para atlet peraih medali Olimpiade berhak memperoleh jaminan kesejahteraan berupa uang kehormatan. Uang kehormatan diberikan ketika atlet pensiun, mulai usia 45 ke atas hingga tutup usia,” kata Direktur LBH PSI Francine Widjojo.
PSI menyuarakan dan membela atlet berprestasi sungguh sebuah sikap yang mulia.Ini patut kita apresiasi, karena jarang sekali ada partai yang bersuara keras untuk menyatakan keberpihakan kepada nasib atlet di masa tua.
Sebagai mantan atlet saya menyerukan para insan olahraga untuk ramai-ramai mendukung partai yang jelas-jelas membela kepentingan kita para atlet untuk masa tua.
Ini yang membuat saya suka pada PSI.Penuh perhatian dan peduli termasuk pada kami, insan olahraga yang kadang terlupakan di masa tua…(*)