Upaya Airlangga Pribadi menfitnah Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bisa dibaca sebagai tindakan untuk mencari muka kepada partai penguasa, dalam hal ini PDIP. Airlangga terlihat sedang mencari sandaran untuk meningkat daya tawarnya di internal kampus Universitas Airlangga (Unair).
Langkah Airlangga ini mudah dibaca. Serangannya terhadap PSI tidak didasarkan pada landasan ilmiah. Kata-kata Airlangga bahwa “Ini terkait Ketua Dewan Pembina PSI dapat merangkap berbagai jabatan sebagai Ketua Umum, Sekjen, Ketua Dewan Pertimbangan Nasional, Ketua Dewan Pakar Nasional dan DPP. Artinya apa? Dalam kelembagaan internal jejak otoritarianisme warisan Orde Baru tampak melekat dalam partai tersebut,” lebih menjurus kepada fitnah dibandingkan pandangannya sebagai intelektual.
Dalam AD/ART maupun dalam pratek berorganisasi, tidak ada seperti yang dituduhkan oleh Airlangga Pribadi. Apa yang dikatakan Airlangga Pribadi bahwa Dewan Pembina PSI militeristik tentu tak benar. Dewan Pembina PSI tidak terdiri satu orang. Keputusan mereka diambil secara demokratis. Kalaupun Dewan Pembina diberikan mandat untuk mengambil keputusan, itu sama ketika Megawati diberikan mandat untuk menunjuk calon presiden. Apakah pemberian mandat kepada Megawati militeristik? Biar Airlangga Pribadi yang menjawab.
Tujuan Airlangga memfitnah PSI tentu saja untuk mencari muka. Kita tahu selama ini PSI dianggap sebagai penganggu PDIP. Dengan begitu, ketika Airlangga Pribadi menyerang PSI, ia berharap mendapatkan simpati dari kubu PDIP. Bisa jadi Airlangga berkeinginan mendapatkan jabatan tertentu di internal Unair. Mungkin ia sedang pasang kuda-kuda untuk mencalonkan sebagai dekan FISIP atau bahkan rektor Unair.
Tentu boleh saja Airlangga Pribadi mengincar jabatan tertentu, bahkan di luar Unair, menjadi dirjen, misalnya. Namun caranya patut disesalkan. Ia telah melacurkan intelektualitasnya dengan melakukan fitnah untuk dibarter dengan dukungan secara politik. Seorang dosen semestinya memandang segala sesuatu berdasarkan kaidah ilmiah, bukan dengan melakukan fitnah. Kaidah ilmiah tentu didasarkan pada kajian yang mendalam, baik melakukan observasi langsung maupun kajian melalui literatur. Setelah itu baru kemudian menarik kesimpulan. Dari tuduhannya terhadap PSI, Airlangga tampak tak melakukan itu. Ia langsung main hantam tanpa melakukan kajian yang mendalam, termasuk tak melakukan klarifikasi langsung terhadap PSI
Julien Benda pernah menulis buku Pengkhinatan Kaum Cendekiawan. Dalam bukunya itu seorang intelektual harus berada di posisi tengah-tengah. Tujuannya agar pandangannya menjadi obyektif. Maka ketika ia memihak kepada salah satu kubu, maka ia telah melakukan pengkhianatan terhadap profesinya sebagai seorang intelektual. Sikap seperti ini tentu harus dihindari. Bila tidak maka komunitas akademik bisa tercemar.
Sementara Pramoedya Ananta Toer mengatakan, “Seorang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran.” Mengapa harus adil sejak dalam pikiran? Agar dalam menarik kesimpulan tidak berdasarkan asumsi belaka dan sikap tak seimbang. Seorang intelektual bekerja bukan berdasarkan syak wangka, melainkan kejujuran dalam melihat suatu masalah. Kejujuran bisa hadir bila ia tak berat sebelah.
Sebagai seorang intelektual, Airlangga Pribadi telah melakukan pengkhianatan intelektual sekaligus tidak adil sejak dalam pikiran. Hal ini tentu memalukan bagi kampus ternama seperti Unair. Airlangga Pribadi telah menggadaikan intelektualitasnya demi mendapatkan sokongan politik. Dan itu dilakukan dengan melakukan fitnah terhadap PSI. Fitnas Airlangga tidak hanya merugikan Unair secara intitusi, tapi juga kalangan alumnus yang telah tersebar dimana-mana.
Sudah semestinya alumnus Unair menjaga integritasnya. Apalagi seorang intelktual. Ia bisa salah tapi tidak boleh memanipulasi fakta. Sikap yang dilakukan oleh Airlangga Pribadi jelas telah melenceng dari tatanan dan tuntunan Unair. Oleh karena itu, kita harus berani meluruskan sikap yang bengkok itu agar Unair tidak dituduh sebagai penghasil intelektual tukang fitnah.* Begitu keraskah saingan Airlangga sehingga harus jadi Dosen Fitnah ala Unair?