Pada tahun 2020 lalu, DPR tengah menggodok revisi UU Pemilu. Draf revisi UU Pemilu tersebut sudah diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR. Namun, November 2020 lalu, Baleg DPR meminta Komisi II untuk mematangkan kembali draf sebelum pihaknya melakukan harmonisasi. Artinya kalau kita lihat prosesnya, DPR sendiri pun belum siap atau matang untuk melakukan revisi UU ini.
Kita lihat draf revisi tersebut ada beberapa usulan perubahan, Di antaranya sistem pemilu (terbuka, tertutup, campuran), ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT), presidential threshold, dan metode penghitungan suara.
Dari poin-poin yang diusulkan untuk direvisi, banyak yang baru dilaksanakan satu kali saja, yaitu pada Pemilu 2019. Sebut saja aturan tentang keserentakan pilpres dan pileg, parliamentary threshold 4%, presidential threshold 20%, dapil magnitude, atau metode penghitungan suara.
Mengamati hal tersebut, kami dari Indonesia Election Watch menduga dan rakyat patut waspada. Ada tendensi bahwa UU Pemilu hendak diubah tergantung kepentingan partai-partai politik yang tengah berkuasa. Bukan didorong untuk memperbaiki sistem demokrasi kita. Malahan terkesan untuk membunuh demokrasi secara pelan-pelan.
Oleh karenanya UU No 7/2017 tentang Pemilu belum perlu direvisi saat ini. Apalagi, kalau kita ikuti perkembangan fraksi di DPR saat ini, tidak semua fraksi sekapat untuk di revisi.
Revisi UU Pemilu ini sebaiknya dikukan setelah melewati 4 kali pemilu, setidaknya. Jangan merevisi UU setiap kali pemilu. Biar kita punya pengalaman yang lebih objektif. Revisi UU itu seharusnya bertujuan untuk terus memperkuat sistem politik dan demokrasi kita. Bukan untuk dibongkar-pasang kapan saja sesuai keinginan partai yang berkuasa.
Belum lagi kalau kita lihat darft UU yang sedang di godok di DPR malah mundur ke belakang dan terkesan akan membunuh demokrasi kita secara pelan-pelan. Misal, ada pasal yang membolehkan kader partai menjadi anggota KPU. Ini kan aneh ? KPU sebagai penyelanggara Pemilu mesti dipimpin oleh orang-orang yang independen dan kompeten.
Yang paling parah adalah pasal yang mengatur kenaikan ambang batas parlemen (PT) dari 4%. Ada keinginan membunuh demokrasi dengan kenaikan PT ini. Pada pemilu 2019 lalu, dengan kebijakn PT 4% saja, banyak suara rakyat yang hangus, tidak mendapat wakil mereka di DPR RI. Tercatat perolehan suara nasional partai-partai non-parlemen (PSI, Hanura, Perindo, PBB, PKPI, Berkarya, Garuda) berjumlah 13,594,842 atau 9,7% dari total sura sah pada pemilu lalu.
Padahal 13,5 juta atau 9,7% suara rakyat yang mubazir itu bahkan melebihi perolehan suara partai peringkat 4 pada pemilu lalu yaitu PKB yang memperoleh (9,69%) dari total suara sah.
Dengan rencana menaikan PT 5% saja, dengan memakai hasil pemilu lalu artinya PPP yang memperoleh 4,52% juga akan menjadi partai non-parlemen. Artinya, suara rakyat yang tidak terwakili dengan PT 5% akan menjadi 14,22% atau 19.917.989 suara. Artinya juga, suara rakyat yang tidak terwakili sebesar 14,22% atau 19.917.989 suara mengungguli pemenang kedua dan ketiga Pemilu yaitu Gerindra (12,57%) dan Golkar (12,31%). Bayangkan kalau kenaikan PT 7% maka berapa banyak lagi suara rakyat yang di rugikan.
Maka demi menjaga suara rakyat. Revisi UU Pemilu harus kita tolak.
Kita berharap, para anggota DPR yang sedang menjabat saat ini bisa bersikap sebagai negarawan. Dan partai yang sedang berkuasa tidak membongkar-pasang UU se enaknya saja.
*