Jakarta, WARTAKINI.id – Kalangan pengusaha terus memantau perkembangan terkait pemilihan umum Amerika Serikat (Pilres AS) yang sudah dimulai tadi malam, Selasa waktu AS (3/11/2020).
Hasil pemilu akan menjadi penentu bagaimana kebijakan ekonomi negeri Paman Sam dan dampaknya ke dunia dalam waktu ke depannya.
Politisi Partai Demokrat, Joseph ‘Joe’ Biden, yang juga merupakan mantan wakil presiden era Presiden Barack Obama 2009-2017 diramal oleh beberapa poling memiliki kans untuk menang dibandingkan petahana Donald Trump.
Jika pun Biden terpilih, kebijakan yang dibuat diprediksi tidak akan jauh berbeda dengan petahana Donald Trump.
“Biden seperti Obama sebelumnya mengedepankan multilateral dibandingkan bilateral. Pemerintah Biden juga tidak pro free trade sepenuhnya, tetapi lebih akan mengupayakan balance antara proteksi pasar AS dari impor, khususnya dari China dan negara-negara lain yang dianggap melakukan persaingan dagang yang tidak sehat,” kata Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani kepada WARTAKINI.id, dikutip Rabu (4/11).
Menurutnya Biden kemungkinan besar tidak serta merta akan menghentikan trade war, review atau pun penyelidikan-penyelidikan dagang terkait aktivitas perdagangan AS dengan negara-negara lain.
Khususnya isu terkait persaingan dagang yang tidak sehat, baik meliputi isu dumping dan subsidi perdagangan, hingga persaingan usaha yang tidak sehat karena peran BUMN di negara pesaing (China).
“Bahkan dalam presentasi economic plan-nya berjudul Made in All of America menunjukkan adanya political will untuk memproteksi pasar AS untuk penciptaan lapangan kerja. Biden mengatakan bahwa dia tidak sungkan untuk mengenakan tarif atau trade barriers pada rekan dagang yang dianggap merugikan AS,” sebut Shinta.
Ia mengungkapkan bahwa pada prinsipnya kebijakan Biden akan relatif sama dengan Trump bila dia menang.
Hanya saja konsep yg diusung Biden lebih terstruktur atau bukan sporadis seperti Trump. Melainkan mengarah pada konsep fair trade yang tentunya dalam konteks fairness kepentingan AS.
“Biden juga akan lebih terbuka untuk menciptakan kompromi dagang yang mengarah pada konsep fair trade ini dengan negara-negara yang saat ini sedang sangat ditekan oleh kebijakan-kebijakan perdagangan Trump,” sebut lulusan Executive Education di Harvard Business School, Boston, Massachusetts, USA ini.
Sementara itu jika petahana yang menang, tentu kebijakan ekonominya juga bakal berbeda. Jika dengan Biden, limited trade deal mungkin akan membutuhkan waktu lebih lama atau perlu ditransformasikan krn Biden punya agenda tersendiri terkait mulitlateralisme. Maka Trump sebaliknya.
“Bila Trump memenangkan pemilu AS, kemungkinan besar usulan limited trade deal Indonesia-AS bisa lebih mudah dan lebih cepat direalisasikan karena sifat pemerintahnya lebih pragmatis,” sebut Shinta.
Dengan demikian, baik Biden maupun Trump sama-sama memiliki prinsip mengutamakan proteksi pasar AS. Hanya saja konsep yang diusung Biden lebih terstruktur atau bukan sporadis seperti Trump.
“Kami tidak bisa bilang bahwa Pemerintahan Trump atau Biden lebih baik, atau lebih buruk untuk Indonesia. Pelaku usaha Indonesia yang penting kita terus menerus lebih fleksibel menyesuaikan diri, baik melalui daya tarik iklim usaha & investasi dalam negeri maupun melalui lobi agar benefit dari kebijakan Presiden AS tetap ada di pihak Indonesia,” kata Shinta.
Ia menilai untuk sektor-sektor ekonomi nasional yang diuntungkan dari AS masih sama karena tidak ada shifting yang terlalu signifikan dalam hal komoditi ekspor unggulan maupun sektor investasi yang diminati AS di Indonesia di era Trump maupun Biden.
“Di luar itu, kami tidak memproyeksikan banyak perubahan karena semua tergantung pada daya tarik iklim usaha dan investasi Indonesia, khususnya karena konflik AS-China dan negara-negara cenderung terus dipertahankan oleh Biden karena kebutuhan ekonomi internalnya sendiri, khususnya untuk job creation,” papar CEO dari Sintesa Group itu.
[Gambas:Video CNBC]
(tas/tas)
Sumber Berita