oleh: I Wayan Suweca
“Beberapa orang mengubah partai mereka demi prinsip mereka; yang lain, mengubah prinsip mereka demi partai mereka” begitu kata Winston Churchill.
PSI baru saja memberikan tamparan keras kepada PDIP rekannya sesama partai nasionalis. PSI tidak canggung menjabat tangan Prabowo Subianto. Dua seteru utama di Pemilu 2019 itu saling bermesraan di kantor DPP
PSI tanggal 2 Agustus 2023. PDIP bereaksi keras dengan menyatakan “Dukungan PSI ke Ganjar itu Bullshit,” setidaknya itu yang disampaikan Deddy Sitorus, petinggi PDIP kepada media.
Apa yang terjadi? Sebenarnya tidak sulit melacaknya. PSI adalah partai pertama yang mengusung Ganjar Pranowo sebagai Calon Presiden hasil rembuk rakyat PSI. Harga yang dibayar PSI cukup mahal, hitung saja biaya billboard bergambat Ganjar-Yenni yang mereka sebar di seluruh Indonesia, itu yang material. Ada juga kisah bagaimana PSI hendak digagalkan dalam verifikasi faktual calon peserta Pemilu 2024. Kabarnya jika tidak ada pertolongam Jokowi, PSI gagal menjadi peserta Pemilu 2024. Bahkan menurut Bambang Pacul, petinggi PDIP, PSI sudah menyampaikan permintaan maaf secara tertulis kepada Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri karena sudah dianggap lancang mendeklarasikan kader PDIP, Ganjar Pranowo sebagai calon presiden. Kabarnya lagi, PSI wajib menurunkan seluruh alat peraga kampanye dan konten-kontem media sosial terkait pencalonan Ganjar Pranowo dan Yenni Wahid.
Ganjar Pranowo bereaksi berlebihan saat ditanya wartawan mengenai deklarasi PSI mendukung dirinya sebagai calon presiden. Mungkin karena ketakutan belum mendapat tiket dari PDIP, Ganjar menyatakan “Apa PSI? Apa itu PSI? PSSI kali?” sebuah pernyataan yang menampar keras PSI tentu saja. Pun demikian, hingga detik ini, PSI belum pernah menyatakan menarik dukungannya kepada Ganjar Pranowo.
Bahkan saat deklarasi PDIP yang secara resmi mencalonkan Ganjar Pranowo sebagai calon Presiden, PDIP tidak sekalipun menyebut nama PSI sebagai partai pendukung. Bahkan sebagian elit PDIP menyebut PSI sebagai partai kecil yanh perlu belajar etika politik. Bahkan setelah bergabungnya Hanura, PPP dan Perindo, PSI tidak pernah diajak untuk bergabung dalam koalisi.
Pola komunikasi politik PDIP banyak dikritik karena dianggap arogan. Semua partai pendukung Ganjar harus datang ke kantor PDIP untuk menyatakan dukungannya, bahkan relawan yang hendak mendukung Ganjar pun harus melakukan registrasi ke PDIP. Ganjar pun selalu mengenakan seragam PDIP saat pertemuan-pertemuan dengan koalisi partai, seolah PDIP hendak
menyatakan Ganjar ini adalah milik PDIP semata.
Sikap PDIP ini yang kemudian ditengarai sebagai akibat dari menurunnya elektabilitas Ganjar di semua lembaga survey. Bahkan dalam simulasi head to head Ganjar kalah dan tertinggal dua digit (diatas 10%) oleh rival utamanya yakni Prabowo Subianto.
Berbanding terbalik dengan sikap PDIP, Capres Partai Gerindra, Prabowo Subianto malah tampak semakin percaya diri meniati keunggulan elektabilitasnya. Prabowo rajin melakukan safari politik ke partai-partai lain. Selain itu, Prabowo tampak berubah 180 derajat dengan mengidentikkan diri sebagai pelanjut Jokowi. Kampanyenya jadi sangat lembut dan tidak menyerang-nyerang. Siapa yang menyangka, Prabowo Subianto bahkan bersedia datang ke Kantor DPP PSI untuk sekedar bersliaturahmi.
Prabowo sadar betul bahwa tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi di atas 80%, rakyat Indonesia masih sangat mencintai Presiden Jokowi. Spanduk, Baliho dan Billboard bergambar Prabowo dan Jokowi tersebar di seluruh Indonesia, hal yang rasanya tidak mungkin atau bahkan mustahil dilakukan oleh PDIP. Jokowi bagi PDIP seolah merupakan kesalahan yang tidak akan diulangi PDIP dengan Ganjar Pranowo. Ganjar harus benar-benar menjadi petugas partai.
Bisa dipahami, PSI sedang menguji arogansi PDIP, menguji nyali dan keberanian Ganjar Pranowo. Pertemuan dengan Prabowo merupakan pesan kuat, kami partai kecil, namun semut pun akan menggigit jika diinjak-injak. Seperi kata Grace Natalie “kami ini hanya butiran debu, partai bocil ingusan yang melihat ada kebesaran hati di Pak Prabowo yang bersedia datang ke kantor PSI.”
Jika merujuk Churchill, Gerindra dan Prabowo mengubah diri, bertransformasi demi partainya, begitu juga PSI. Sementara PDIP sedang mengubah partainya demi prinsip bahwa “Presiden itu harus Petugas Partai.” Namun mungkin PDIP memang demikian ideologisnya sehingga rela kalah demi membela prinsipnya. Senjakala PDIP sedang diujung nafas. Waktu jua yang akan mencatat siapa yang akan keluar sebagai pemenang dalam pertarungan ini. Sambil menunggu kemana Jokowi akan mengarahkan telunjuknya.
I Wayan Suweca
Relawan Jokowi